Sabtu, November 01, 2008

Saatnya, (Tuan Guru Bajang) Memimpin Perubahan

100_9390.jpg

Dalam lagu Indonesia Raya, ada kata-kata Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Raganya. Jadi, yang pertama kita perbaiki di jajaran birokrasi ini adalah membangun jiwa dan moral birokrat kita” (Lombok Post, 27 Oktober 2008). Demikian ungkapan TGH. Zainul Majdi yang akrab disapa Tuan Guru Bajang, Gubernur termuda di Indonesia yang memimpin provinsi NTB.

Masih hangat pemberitaan di Lombok Post sebulan terakhir mengenai mulai diimplementasikannya Peraturan Pemerintah Nomor : 41 Tahun 2008 mengenai Struktur Organisasi Perangkat Daerah. Para pejabat di provinsi maupun di kabupaten/kota ketar-ketir menghadapinya, ada yang bernasib mujur masih dipercaya menduduki jabatan bahkan dipromosi akan tetapi bagi mereka yang apes di-non job-kan, seperti mutasi pejabat di provinsi NTB beberapa waktu lalu, dan beberapa kasus di kabupaten Lombok Barat, Lombok Timur dan terakhir di kota Mataram.

Mutasi yang pada hakekatnya adalah dinamika organisasi yang berubah, tumbuh dan berkembang, tetapi tetap saja membawa kegetiran bagi SDM organisasi. Pertanyaannya, bagaimana seharusnya pemimpin dan SDM organisasi dalam menghadapi perubahan yang sangat cepat sedangkan pengalaman masa lalu tidak cukup untuk menjelaskan masa depan ?

Transformasi Birokrasi

Dalam agenda prioritas Gubernur NTB yang baru adalah pemberantasan korupsi di jajaran birokrasi, dengan memfasilitasi penandatanganan MoU anti korupsi antara BPKP RI Perwakilan Denpasar, Kejari NTB dan Polda NTB, dan bagi pejabat eselon II dan III menandatangani Pakta Integritas, yang salah satu isinya adalah kesiapan pejabat untuk langsung mengundurkan diri dari jabatannya jika diisukan terkait korupsi.

Komitmen dan gerakan tersebut haruslah didukung oleh semua elemen masyarakat untuk menciptakan tata pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good govenance). Karena penyakit yang selama ini menyengsarakan daerah dan bangsa kita adalah budaya korupsi. “…management deals mostly with status quo, and leadership deals mostly with change..” demikian pendapat pakar transformasi budaya organisasi, John P. Kotter. Transformasi merupakan tugas pemimpin puncak, karena berkaitan dengan perubahan minset dan perilaku yang berkaitan dengan determinan budaya, sehingga lebih mendasar daripada reformasi birokrasi yang bersifat struktural. Namun demikian, keduanya, reformasi, apalagi transformasi harus didorong dari atas (top-down) dengan political will yang kuat disertai keteladanan.

Transformasi berwujud suatu perubahan besar dan radikal yang terjadi di suatu organisasi, seperti layaknya perubahan dari kepompong menjadi kupu-kupu. Suatu perubahan yang tidak cukup hanya dilakukan secara perlahan-lahan, selangkah demi selangkah (incremental), tetapi serentak secara simultan, apalagi menghadapi dinamika perubahan yang demikian cepat. Jadi, jangan berharap reformasi birokrasi, misalnya bisa terjadi, bila pimpinan puncak tidak memiliki visi dan keinginan kuat untuk suatu perubahan.

Padahal mengelola perubahan saat ini dianggap isu utama dalam agenda kepemimpinan kita ke depan. Barack Obama kandidat presiden Amerika misalnya, dengan slogan kampanyennya: “Change, We Need”, dan banyak lagi slogan-slogan dan rumusan dari beberapa calon presiden nasional untuk pilpres tahun 2009.

Sadar akan misi perubahan tersebut, seharusnya kita bisa berperan dalam “kafilah masa depan” dengan menerima tantangannya. Dan jangan hanya disibukkan oleh ruang masa lalu. Kita harus mengambil bagian dalam kebangkitan masa depan itu, karena jika tidak demikian, kita akan tertinggal bahkan tergilas oleh zaman.

Jika mengadopsi “The Ten Challengers and Pain” (Paulus Bambang) yang dihadapi korporat dan mengadaptasinya ke sektor pemerintahan, setidaknya bisa diindentifikasi adanya empat permasalahan mendasar yang memerlukan trasformasi budaya, yaitu pengelolaan perubahan (managing change), pengembangan kepemimpinan (develop leader), pengelolaan SDM (managing people), dan budaya kerja (governance culture).

Paradigma baru, pemerintahan baru, ilmu dan teknologi baru, informasi baru, pendekatan baru silih berganti membawa perubahan dalam sejarah peradaban bangsa kita. Perubahan semakin besar terasa, ketika perputarannya semakin cepat seperti sekarang ini. Di era yang diwarnai dengan gejolak perubahan, mempertahankan status quo bukanlah keputusan yang bijak. Ketika segala sesuatu di sekitar kita berubah, maka perubahan bukan lagi satu pilihan, melainkan keharusan.

Namun, mendengar kata “perubahan” mungkin saja banyak orang yang menjadi khawatir. Menurut John P. kotter dan S. Cohen dalam bukunya “The Heart of Change”, orang terdorong untuk berubah karena ia “melihat” urgensi untuk berubah, “merasakan” kepentingan untuk berubah, dan untuk selanjutnya siap “melakukan”perubahan. Memang Kotter sendiri juga menyadari, bahwa setiap kali manusia dipaksa untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi yang berubah, disitu selalu ada kegetiran.

Ketiga prinsip di atas: “melihat”, “merasakan”, dan melakukan” ternyata bukan bermuara pada pendekatan manajemen, teknis, anggaran, atau pun pendekatan ilmiah yang canggih lainnya, melainkan pada SDM yang terlibat dalam perubahan tersebut. Dengan demikian juga harus berujung pada perubahan sikap manusia.

Memimpin dengan Aksi

Arthur M. Schlesinger Jr dalam bukunya “Dis-Uniting of Amerika: Reflection on A Multicultural Society” (1992), menyatakan bahwa banyak negara di dunia pecah karena gagal memberikan alasan-alasan yang kuat kepada bangsanya yang berasal dari berbagai latar belakang etnis untuk melihat diri mereka sebagai bagian dari negara yang sama.

Inilah yang sedang dialami oleh Negara dan bangsa kita saat ini. Agaknya kita telah lupa tentang tujuan bersama. Kalau pun ingat-mewujudkan masyarakat adil dan makmur, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia-itu pun miskin implementasi dengan diiringi kurangnya mutual-trust di antara sesama komponen bangsa.

Bertolak dari fakta empirik itu, maka yang dibutuhkan daerah dan bangsa ini adalah tipe kepemimpinan pekerja (work leader), petarung yang tidak sekedar duduk di meja, tetapi memimpin dengan aksi yang memimpin dengan bekerja. Dalam kaitan dengan itu, analisa John H. Zenger dan Joseph Folkman (dalam Lestari, SwaOnline, 2007) menyimpulkan, kompetensi kepemimpinan unggul dikelompokkan dalam lima klaster: (1) karakter, (2) kemampuan personal, (3) keahlian interpersonal, (4) fokus pada hasil, dan (5) memimpin perubahan organisasi. Lima kompetensi tersebut berfungsi sebagai tiang penyangga dan penyungkit kepemimpinan ke level lebih tinggi yang unggul. Diantara kelimanya, karakter merupakan titik sentral, sedangkan elemen lainnya adalah komponen pendukungnya. Elemen keempat dari dari kompetensi kepemimpinan, yaitu fokus pada hasil (outcome) mencakup kemampuan mewujudkan gagasan menjadi serangkaian aksi yang berkelanjutan (sustainable), adalah bagian substansi dari kepemimpinan unggul yang memimpin dengan aksi.

Membangun Etos Keunggulan

Menjadi kewajiban kita semua, agar bisa membawa daerah kita (NTB) dapat bersaing dengan daerah lain sehingga kita tidak lagi berada di level bawah, menapaki tegalan berbatu-batu, lalu mendaki bukit keberhasilan dimana NTB bisa sejajar dengan daerah maju lainnya. Untuk itu kita harus menumbuhkan sebuah kultur baru: “a culture of excellence”-kultur keunggulan-di semua bidang kehidupan, termasuk bidang pendidikan.

Tetapi, tak ada keunggulan apabila kita tidak mampu mendengar panggilan Suara Tuhan, Suara Rakyat. Karena, pondasi segala prestasi keunggulan adalah spiritualitas: nurani yang jernih, hati yang bening, dan akalbudi yang cerah. Dan semuanya itu harus dibasiskan pada prinsip-prinsip sejati: apabila orang bekerja berdasarkan panggilan jiwanya maka ia akan unggul melampaui yang lain. Begtulah mula kisah kemajuan bangsa-bangsa lain, seperti Jepang dan Korea Selatan.

Jim Collins dalam “Good to Great” (Sinamo, 2007) menampilkan hasil studinya tentang elemen menjadi great company: kepemimpinan yang professional namun rendah hati, pemilihan SDM yang tepat, tegar menghadapi realita, selalu melakukan yang terbaik, membangun kultur disiplin, dan pilihan teknologi yang pas sebagai akselator. Masih ditambahkan, bahwa excellence itu digerakkan oleh visi akbar yang menggetarkan bahkan sanggup meminta pengorbanan dari segenap warganya, dipandu oleh strategi cerdas agar sumberdaya yang terbatas pun bisa cukup, dimotori oleh inovasi-inovasi kreatif, dikawal oleh sikap antisipatif, dan didukung oleh karakter ketekunan.

Apa pun komposisinya, akhirnya kita menyimpulkan bahwa basis keunggulan suatu produk, organisasi, bahkan sebuah bangsa, nyata-nyata dan tak bisa lain, ialah manusia unggul juga: spiritualitasnya, intelektualitasnya, dan etos kerjanya. Bangunlah Jiwanya Bangunlah Raganya ! Semoga bermanfaat [s7].

oleh : SU7AS [humaskanwildepagntb]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar